Mana yang lebih baik dalam sepakbola, Akademi atau Finansial ? (part1)

Sudah lama sebenarnya saya ingin membahas isu ini, tapi keinginan yang belum kuatlah yang jadi penghambatnya. Alhamdulillah akhir2 ini semangat untuk menulis ada lagi, dan akhirnya saya sempatkan untuk menulis notes yang jarang ini. Notes yang berisi tentang kecintaan saya pada sebuah olahraga yang diakibatkan oleh aksi2 pemain tim samba pada gelaran Piala Dunia 1998 di Perancis. Terutama aksi pemain botak bernomor penggung Sembilan yang berjuluk 'Il Phenomenon'.



Mungkin bagi beberapa orang, isi note ini tidak ada gunanya, tapi bagi saya ini hobi. Hobi yang seumur hidup tidak akan pernah bisa saya lupakan. Sebisa mungkin untuk terus mengikuti perkembangan sepakbola.
Walaupun saya seorang fans the blues (Chelsea), namun notes ini saya buat seobyektif mungkin. Tapi bagi yang tidak setuju dengan notes ini, silahkan, karena saya yakin masing-masing “GiBol”(penggila bola) memiliki tim favoritnya dan frame berpikir yang tidak jauh dari tim favoritnya tersebut.

Kebanyakan orang bilang bahwa dalam pembentukan tim sepakbola yang sukses membutuhkan akademi pemain muda yang baik bukan hanya dengan mengandalkan kemampuan finansial yang tidak terbatas. Tim-tim seperti itu tidak akan mendapatkan gelar juara sejati. Mereka memainkan sepakbola instan.

Bagi saya, pernyataan diatas tidak seutuhnya benar. Saya sangat sepakat jika pendidikan pada usia muda sangat berpengaruh dalam pembentukan tim di masa mendatang. Namun bukan berarti pembelian besar-besaran tidak akan menghasilkan hasil yang baik.
Dalam kamus saya, kesuksesan sebuah tim sepakbola dalam berprestasi adalah ketika pemain-pemain berkualitas dalam tim tersebut telah bermain bersama dalam waktu yang lama. Tidak peduli bagaimana klub itu mendapatkan pemainnya, baik itu dengan cara memainkan mereka bersama sedari muda, via akademi klub, (seperti yang pernah dilakukan Manchester United atau Barcelona sekarang) atau dengan melakukan pembelian-pembelian yang jeli kemudian menjaga mereka dalam tim dalam waktu yang lama. Karena dengan menjaga pemain selalu bersama dalam waktu yang lama dapat membuat tim semakin padu, memiliki daya juang yang baik dan yang terpenting adalah memiliki karakter bermain.

Mungkin bagi orang-orang yang suka sains, hipotesis-hipotesis seperti ini membutuhkan bukti-bukti nyata. Maka dari itu, setelah ini akan saya bahas bukti-bukti yang ada dengan mengambil contoh beberapa tim-tim sepakbola elit Eropa.

Contoh pertama yang akan saya ambil adalah Manchester United. Kualitas tim ini sudah terdengar di seluruh pelosok dunia. Tim ini adalah Penguasa Inggris saat ini. 3 kali tim ini menunjukkan kehebatannya sebagai penguasa benua biru. Tidak heran jika fans dari tim ini adalah fans klub sepakbola terbanyak di dunia saat ini. Kesuksesan besar tim ini, selain dari tangan dingin seorang Alex Ferguson, adalah dari lamanya interaksi pemain-pemain berkualitas yang ada dalamnya. Tim ini menjadi contoh yang pas bagi hipotesis saya, karena tim ini meraih kesuksesan tersebut dengan pendidikan dan pembelian cerdas dalam 2 generasi yang berbeda.

Generasi pertama adalah tahun 1992-2003. Class of ‘92 tentunya akan menjadi sorotan utama. Class of ’92 adalah David Beckham, Paul Scholes, Ryan Giggs, Nicky Butt, Gary dan Phillipe Neville. Sedari muda mereka telah bermain bersama dan pada akhirnya masuk skuad utama united bersama pula. Digabung dengan kualitas dari Peter Schmeichel (dibeli tahun 1991), Roy Keane (dibeli tahun 1993), puncaknya pada tahun 1999 Manchester United meraih trebble winner (Liga Inggris, Piala FA dan Liga Champion) yang sejak saat itu pula lah Alex Ferguson mendapatkan embel-embel “Sir” di depan namannya.



Seiring berjalannya waktu, satu per satu dari pemain tersebut pergi (baik itu pindah klub atau pension) dari Old Trafford. Akibatnya, Manchester United sempat puasa gelar liga inggris pada tahun 2004-2006. Namun, pembentukan generasi berikutnya sudah dirancang oleh Ferguson,perlahan tapi pasti. Menyadari akademi mudanya saat itu tidak sebaik Class of ’92, Ferguson meregenerasi skuadnya dengan membeli pemain-pemain muda berbakat.

Generasi kedua Ferguson adalah Rio Ferdinand (dibeli tahun 2002), Cristiano Ronaldo (dibeli tahun 2003), Wayne Rooney (dibeli tahun 2004), Michael Carrick (dibeli tahun 2006), Park Ji Sung (dibeli tahun 2005), Nemanja Vidic (dibeli tahun 2006) dan Patrice Evra (dibeli tahun 2006). Digabung pengalaman seorang Edwin Van Der Sar (dibeli tahun 2005) dan talenta Carloz Tevez (dibeli tahun 2007) serta Class of ’92 yang masih tersisa, Manchester United pun kembali ke track juara dan puncaknya pada tahun 2008 berhasil meraih double winner (Liga Inggris dan Liga Champion).


To be continue…

silahkan bayangkan tim favorit anda saat mereka berjaya di klub dan di level benua. apakah kejayaan yg mereka raih sesuai hipotesis saya? ya. *sambil menunggu review saya selanjutnya. hehe